burning a bridge

Sebagai seorang yang self-proclaim introver dan anti-sosial, saya punya kecenderungan untuk memutus tali silaturahmi. wkwk. Namun lucunya, saya suka kesel kalau ada yang ngeblokir saya tanpa saya tahu sebabnya. Misalnya, diblokir mantan pacar di berbagai media komunikasi. Pikirku waktu itu, lah kan emang kita sudah tidak sejalan lagi tapi masa harus benar-benar memutus kontak sama sekali. “Aku gak akan ganggu kamu tapi jangan pernah putus kontak ya?” pesan terakhirku waktu itu yang kukirim dengan penuh kebijaksanaan, yang tentunya berakhir centang satu. Konon katanya, dari artikel kubaca setelah beberapa waktu berlalu kalau pola pikiranku waktu itu salah satu ciri pola pikir seorang sosiopat, wkwk.

Beberapa tahun belakangan ini, saya berurusan dengan berbagai banyak orang dengan latar yang berbeda. Namun, untuk hal yang ingin kuceritakan ini lebih spesifiknya adalah pasangan saya yang berurusan dengan orang lain, dan saya sebagai penasehatnya saja. Salah satu nasehat saya adalah jangan terlalu anoying ketika chat dengan customer (sebut saja demikian), semenyebalkan apapun customernya, apalagi kalau dia punya bargaining chip.

Namun, ada salah satu hal yang membuat Pasangan agak dongkol adalah ketika salah satu customer di akhir masa kontraknya tidak sengaja membawa barang yang seharusnya tidak dibawa, sehingga harus dikembalikan atau ganti uang. Barang ini murah dari segi bentuk tapi mahal karena custom jadi memang opsinya lebih baik balikin aja barangnya tapi si customer memilih transfer sambil meninggalkan pesan setelah transfer, “Sudah ya, harusnya dengan harga segitu dapet 2 loh, makasih.” Lalu Pasangan diblokir. Padahal customer ini termasuk costumer yang baik, bahkan selama ini tidak ada komplain apapun dari Pasangan. Beda cerita kalau seperti customer lain yang melanggar aturan kontrak lalu sempat diberi peringatan keras oleh Pasangan dan customer memutuskan mengakhiri kontraknya. Kalau habis dimarahin terus diblokir sih wajar.

Kecenderungan untuk memutus tali silaturahmi memang tak terelakan, baik yang disengaja maupun tidak. Bahkan misalnya ke teman zaman kuliah yang pada akhirnya hanya berkontak saat lebaran dengan bertukar ucapan lebaran dan pesan maaf saja, lalu di suatu waktu lupa atau terlewat kirim ucapan, teman di seberang mungkin juga lupa, lalu di tahun berikutnya sudah tidak ada lagi bertukar ucapan dan tali yang menghubungkan hilang sudah. Sesederhana itu.

Kalau sesederhana itu, mengapa harus memblokir, toh setelah kontrak berakhir, sudah tidak ada lagi urusan lagi yang mengharuskan kita bertukar pesan? tanya Pasangan, dongkol. Memang sih, sekarang ini banyak orang yang memilih untuk burning a bridge, entah demi alasan kesehatan mental atau memang sedang terganggu saja.

Tapi bagi saya pribadi, kalau memang niatnya burning a bridge saya tidak mau repot-repot untuk melalui banyak langkah untuk blokir orang, biarin saja orangnya, kecuali kalau spamming (kirim pesan berulang-ulang) nah itu blokir deh.

Toh, seiring waktu berjalan seperti teman yang tak lagi saling berbalas ucapan lebaran, lama-lama juga hilang kabarnya. Tapi setidaknya jika tidak saling memblokir, saya bisa saja di suatu waktu melamun dan bertanya-tanya kabar kawan ini bagaimana ya, lalu membuka handphone dan mengirim pesan apa kabar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *