Itu dia, itu dia, itu dia…
Tapi…nggak penting. Guman saya sejurus kemudian. Sekelebat siluet berjaket merah berlalu meninggalkan seberkas bayangan, menusuk hati langsung ke kaki. Tidak penting. karena cuma bayangan. Apa bagusnya bayangan? Mustahil disentuh. Hanya numpang lewat–cepat datang cepat pergi. Tapi siluet dia menusuk-nusuk. sekujur tubuh seperti ditujesi jarum mesih jahit–halus dan cepat. Lumpuh, saya tak pernah mengira sepanjang hidup saya bahwa jatuh cinta bisa sebegitu rasanya.
Jatuh cinta itu normal, bukan? terlebih lagi dia yang dijatuh cintai emang layak dijatuhcintai: semampai, langsing, putih, cantik, rambut lurus hitam berkilau, dan tawanya renyah dari sepasang bibir dewi aphoridite. Tapi itu tidak penting!
Yang penting adalah: sekarang dia duduk disamping saya, nyata–bukan berupa siluet; membuka-buka buku algoritma; mengerutkan dahi tanda bingung; senyumnya tersungging–menampakan kawat gigi yang rapi–takkala saya salah dalam menemukan suatu rumus logika. bukan karena Saya salah, tapi saya tak sanggup apa-apa selain menahan serangan jantung tiap detik yang datang bertubi-tubi.
ah… gak penting juga.
….jantung masih gedebukan, hati tertusuk-tusuk, tingkah masih jumpalitan. Dia kini berganti menjadi siluet berjaket merah pergi menjauh–cepat datang cepat pergi–tanpa pamit.
Leave a Reply