Sejak dulu, aku sering bilang kalau aku benci sama orang. I hate people in general. Pokoknya gak suka aja titik. Mungkin karena sewaktu kecil aku tinggal di sebuah gang yang rata-rata penghuni rumah-rumahnya masih ada ikatan keluarga, jadi kalau ada apa-apa yang jadi kambing hitam pasti aku. Lalu kemudian dicap sebagai anak nakal (jadi inget film Megamind).
Salah satu efeknya adalah aku jarang meminta bantuan orang lain dengan alasan yang sangat membagongkan: agar supaya gak direpotkan kalau ada yang minta bantuan balik. Jadi kalaupun terpaksa minta bantuan orang lain, aku pastikan dulu dia bantunya tanpa pamrih. Egois banget ya. hhhehe.
Dengan alasan seperti itu, maka kalau terjadi apa-apa kalau bisa diselesaikan sendiri, termasuk juga minta tolong orang dengan imbalan (misalnya, minta tolong bantu bayar pajak STNK) tidak masuk dalam kamus kehidupanku. Orang yang satu-satunya paling kurepoti adalah orang tuaku, lebih-lebih bapak. Sudah sering sekali aku repoti mulai dari motor yang bearing rodanya pecah, hingga stang sepeda yang tiba-tiba loss. Selain itu ya kalau bisa sendiri ya sendiri saja.
Sehingga kuberpikir tidak akan ada yang mau menolongku, ketika aku hampir saja menjadi korban kecelakaan, yang mungkin kalau terjadi akan menjadi musibah besar yang pernah aku alami, di suatu pagi di bulan ramadan 2021: Rantai motorku tiba-tiba putus dan nyangkut di ban di tengah keramaian jalan Bundaran Waru. Untungnya badan tambunku ~95kg mampu menyeimbangkan motor yang ban belakangnya gak bisa berputar tapi daya lajunya masih 40-60km/jam, nge-drift nge-drift macam tukang jual tahu yang turun gunung. Motor akhirnya bisa berhenti tapi masih berada di tengah jalan. Aku dorong gak bisa karena ban belakang macet, jadi harus diangkat.
Untungnya ada kang ojek grab yang berhenti yang bantuin dorong sementara aku mencoba mengangkat bagian belakang motor. Kalau mau berpikir buruk, tentu saja aku pasti menduga kalau dia sengaja bantu dengan harapan nanti dapat imbalan. Pikiran buruk ini, tidak serta merta muncul begitu saja, karena rumahku yang dekat tempat mangkal ojek, dan aku pernah lihat salah satu tukang ojek yang “memaksa” membantu orang yang motornya lagi mogok, setelah dia utak-atik gak bisa, tapi dia tetep minta uang, “ya kasih berapa gitu lah mas”, katanya.
Tapi karena darurat, tentunya aku gak boleh dong su’uzon dengan menolak kebaikan orang.
Setelah meminggirkan motor di jalan, aku cukup kesusahan melepas rantai yang terjepit di antara swing arm dan gear. Pak grab juga tidak bisa membantu. Tiba-tiba ada pemuda ikut meminggirkan motornya lalu mengamati motorku. Kemudian, dia kembali ke motornya, membuka jok, dan mengambil tas kecil yang berisi alat bengkel. Dengan alatnya rantai bisa terlepas dari motor. Lalu sebelum si pemuda pergi, aku mau ngasih duit tapi ditolak dan langsung pergi begitu saja. Terima kasih banyak mas-mas entah siapa namanya.
Setelah roda belakang motor bisa berputar. Pak grab mengajukan diri untuk men-stut (dorong) menuju bengkel terdekat. Setelah selesai urusan di bengkel, motor aku tinggal dan lanjut ke kantor dengan sekalian meminta pak grab nganter sampe kantor.
Dalam perjalanan itu, ku berpikir, bahwa masih banyak orang baik yang mau bantu, dan gak seharusnya aku berpikir negatif. Kemungkinan bertemu orang-orang baik ini, kupikir bukan karena aku sendiri (yang terlalu ignorant sama orang), tapi bisa jadi adalah balasan dari kebaikan-kebaikan orang tua, istri, ataupun orang-orang yang menyayangiku. Jadi ya berbuat baiklah sama orang, mungkin kita tidak akan mendapatkan balasan langsung (ke kita), barang kali kebaikan kita melindungi orang-orang yang kita sayang.
Leave a Reply