Tanpa sadar kereta malam yang saya naiki mulai perlahan melaju, dan untuk 10 jam ke depan tempat duduk ini akan meratakan pantat saya. Hmm, mungkin setelah sampai tujuan nanti, pantat saya udah sixpack. Dan dalam sebuah perjalan panjang dan sendirian ini memaksa saya untuk memikirkan banyak hal.
Tentang cinta adalah topik yang selalu jadi bahan utama untuk mengisi perjalanan yang cukup panjang ini, apalagi malam minggu begini, tapi sepertinya cinta bukan topik yang pas, setidaknya untuk saya. Udah hampir dua tahun ini saya lebih memilih sendiri, entah mulai tak laku atau saya terlalu banyak menuntut yang sempurna. Kemudian, tiba-tiba satu hal penting terlintas, bagaimana bisa saya berada di sini, di atas kereta ini, dan apa yang akan saya lalukan sesampainya di sana. Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala saya hingga berakhir pada pertanyaan “apakah gegara seorang wanita?”
***
Ada sebuah notifikasi di facebook, notifikasi sebuah ‘like’ yang mampir di notes saya, yang lumayan jadul setidaknya hampir setahun nggak pernah bikin notes lagi. Akun pelaku ‘like’ itu baru saya kenal, baru beberapa minggu saya add gegera foto profilnya yang mengoda pandangan mata saya. Sejujurnya, sebelumnya saya gak yakin permintaan pertemanan saya disetujui tapi dia langsung menyetujuinya kurang dari sehari, saat sudah menjadi teman pun saya belum berani berinteraksi, meski beberapa kali dia me-‘like’ atau berkomentar di status saya yang galau-galau amit-amit lebay.
“Mbak, bisa pinjem dongkrak mbak?” sebuah kalimat tidak penting saya kirim sebagai kalimat pembuka obrolan di facebook.
“dongkrak? buat apa mas?”
“ini lagi mau nambal ban xD”
“nambal ban apa?”
“ban hati… #halah”
Obrolan tentang dongkrak berlanjut ke masalah hati. Memang sudah kebiasaan saya, kalau chatting dengan orang ujung-ujungnya adalah mengekspos ke-jomlo-an saya. lebih-lebih saya lebih nyaman menceritakan hal tentang saya sendiri, maklum saya self-centered, dan dia menanggapinya dengan bercerita tentang dirinya. Kalau di majalah remaja mungkin bisa jadi trik ngobrol dengan template: aku begini – kalau kamu? dengan begitu dia tidak perlu merasa sedang diinterogasi oleh orang asing yang baru saja dia kenal di dunia maya.
Empat jam. Obrolan di facebook tanpa kami sadari sudah berlangsung selama itu. Kami melakukan time-skipping yang indah. Sebenarnya, saya sudah ngantuk, tapi entah kenapa rasanya tidak ingin menghentikan obrolan ini. Mungkin dia juga berpikir hal yang sama. Ah, yang terakhir ini mungkin hanya delusi saya saja.
“Eh padahal kita baru kenalan, bisa ngobrol sepanjang ini ya? :)” Emoticon senyum darinya membuat saya melayang. Membayangkan wajahnya yang ada di photo profile-nya tersenyum lepas ke arah saya.
“Tapi bukan berarti aku suka curhat ke orang random loh. Entah kenapa ngerasa klik aja. Hehehe.” Langsung saya tekan enter sambil was-was apa yang akan dia balas. Tapi buru-buru saya tambahi,”Mungkin karena kamu spesial xD”.
“haha. Bisa aja mas ini. Pasti pacarnya banyak”
“pfft, jomblo gini. Eh, aslinya aku ini pendiem kok. xD”
“ah yang masa. Jadi penasaran aku. Rasanya kok kita udah kenal lama ya. Sedekat ini xD”
“deket? Ya begitulah internet, mendekatkan yang jauh. Tapi bisa menjauhkan yang dekat juga. Contohnya ya aku ini, kalo misalnya kita satu kampus, mungkin malah kita gak bakal pernah ngobrol sama sekali. Karena saya orangnya pendiem, pemalu dan malu-maluin. Hahaha”
“hahaha. Terus menjauhkan yang dekat maksudnya gimana?”
“Nah itu efek jeleknya. Saking enaknya internetan, kita sampe jarang keluar. Lagi-lagi, contohnya aku. Heheh. Udah jarang keluar rumah, ngobrol sama tetangga. Contoh lainnya. Liat aja pasangan di mcD atau dimana gitu. Mereka bawa hape dan malah asik sama hape masing-masing. Jangan-jangan malah mereka ngobrolnya lewat BBM. Hahaha”
“Hahaha. Autis!”
“Aku autis donk? xD”
“Ah, kok suka bilang hal-hal jelek tentang diri kamu sendiri, mas?”
“Haha. Udah kebiasaan. Lagian ada tujuan mulia”
“Apa? :matabelo:” saya gak tahan membayangkan wajah bengongnya setelah melihat emoticon itu.
“Tujuannya adalah, biar kamu gak perlu nyari-nyari hal buruk tentang aku. Kamu cukup cari hal-hal baik saja. :D”
“Hahaha. Oh good god! Kamu bikin aku ketawa terus dari tadi! Mirip orang gila ketawa sendiri.”
Sejak saat itu, kami jadi sering ngobrol di facebook. Sesi obrolan menjadi dosis harian dan semacam anesthesia untuk hal buruk yang terjadi sehari-hari. Perlahan-lahan, aktivitas itu menjadi candu yang jika terlewat sedetik saja berubah menjadi rindu, dan jika tidak segera diobati akan berubah menjadi peluru yang membunuh. Ah hiperbola berlebihan, tapi memang begitu kan?
Tak lupa, di dunia yang sama dan tempat berbeda, kami bertukar puluhan mention tiap hari. Kebanyakan twit-twit modus dan cinta-cinta yang saya kicau-ulang dan mention ke dia. Mungkin saja dia merasa tak nyaman jika dia mengintip linimasa saya, yang hanya me-mention dirinya. Ah, yang ada, hanya saya yang sering mengutit linimasanya yang banyak membalas mention cowok-cowok genit. Ya! yang terakhir ini hanya bentuk kecemburuan saya saja.
Ada saatnya hal-hal luar biasa menjadi terbiasa dan berubah menjadi biasa-biasa saja. Mungkin karena terlalu sering atau saya telah kehabisan hal-hal dari diri sendiri untuk dieksploitasi, hubungan kami menjadi sepi. Dia jarang online di facebook dan juga twitter. Sepi pun menjadi rindu setengah mati.
Dan di suatu pagi tiba-tiba dia berkicau “What for? It’s over”. Secepat kilat saya buka halaman linimasanya. Ternyata selama ini dia aktif di twitter, hanya saja dia menggunakan fungsi ‘reply’ dan hanya membalas twit satu orang, yang tidak saya follow tentunya. Ah, saya mengutuki diri sendiri karena berusaha berhenti menguntit liminasanya.
Tiba-tiba saja saya berubah menjadi ibu-ibu yang doyan ngurusin masalah orang lain. Dari percakapan yang saya baca di linimasanya, saya tau bahwa dia ada masalah dengan orang yang dia mention, Seorang lelaki. Pacarnya kah? Saya tak mau menduga-duga. Satu hal penting yang saya tahu, besok dia akan bertemu dengan lelaki itu, jam 20:00, di sebuah mall daerah Senayan.
Kesurupan, atau telah tertembak peluru rindu yang berlebihan saya iseng me-mention-nya. Mengajaknya untuk ketemuan di mall yang sama dua jam lebih awal dari jadwal dia dengan lelaki tadi. Satu hal penting yang perlu saya ingat, dia di Jakarta sementara saya di Surabaya.
Sebelum saya sempat marah pada diri sendiri, dia membalas “Ayo! aku tunggu di sini, masa cuman berani modusin? :P”
***
Saya terbangun. Ada petugas kereta menarik selimut tidur yang saya pakai menandakan hari sudah pagi. 15 menit lagi kereta akan sampai di stasiun Gambir. Dari sinilah pertanyaan semalam akan terjawab. Mungkin.
Harus saya akui, saya tampak bodoh, hmm, atau memang bodoh? Melakukan perjalanan panjang hanya karena ingin menemui orang yang cuma kenal lewat dunia maya dan belum pernah sama sekali bertemu. Sesaat setelah membaca twit darinya pagi itu saya langsung bergegas berangkat ke stasiun.memakai gaji yang baru kemarin ditransfer untuk beli tiket eksekutif yang harganya ngajak miskin jika dibeli saat hari-H.
Masih terlalu pagi. Di luar stasiun terlihat banyak orang berlalu menuju Monas. Masih sepuluh jam lagi dari jam yang dijanjikan. Mengitari monas cukup ampuh membuang 2 jam waktu ketimbang menunggu antrian busway. Koridor Transjakarta mulai sepi, lumayan saya tidak perlu mengantri berdiri terlalu lama tapi sialnya saya salah masuk koridor yang seharusnya Gambir 1 saya malah di Gambir 2. Membuat saya harus berkali-kali bertanya ke petugas dan transit ke beberapa Koridor yang belum pernah saya lewati. Well, setidaknya saya bisa tau banyak tentang jalur-jalur busway ini.
13:00 PM. Jam di Handphone yang baterenya mulai berkedip. Lima jam lagi. Saya bertanya-tanya. Apakah dia akan benar-benar ke sini? Atau hanya semacam ke-GR-an berlebihan saya saja dan melakukan hal bodoh di luar akal sehat ini? Belum sempat baca twit dia saat itu, Hape saya sudah menemui ajalnya. Saya lupa dia janjian di sebelah mana dari mall ini. Sebodoh ini kah saya?
Lantai empat, saya baru ingat kalau di sini terletak tempat yang digemari cowok-cowok seperti saya. Haha. Jam segini pertujukan teater sudah mulai dan untungnya masih bisa masuk, yang penting masih ada tempat dan bayar, kata petugasnya. Dua jam melihat adik-adik idola bernyanyi dan menari cukup meringankan penantian hingga jam 18:00. Dua jam lebih awal dari waktu dia akan bertemu lelaki lain.
Tampak figur wajah yang saya kenal lewat photo profile facebook. Dia tampak di sana. Di sebuah kedai kopi. Wajahnya tampak muram. Apakah karena saya telat datang? 18:10. Terlewat 10 menit. Ah, pasti hanya imajinasi saya yang keGRan. Mungkin kah dia memikirkan hal apa yang terjadi dua jam dari sekarang?
“Hai… Ratih?” Tanya saya sesopan mungkin.
“Ya Tuhan…” dia lalu terdiam. Bukan, bukan terdiam karena baru saja melihat sesosok makhluk mengerikan. Air wajahnya seakan mengenali namun tak mampu mengingat.
“ak…”
“INDRA!? Kamu Indra? Ya Tuhan! Aku kira cuman modus biasa aja!!” teriakannya memancing pandangan pengunjung lain ke arah kami.
“Psst” Reflek telunjuk saya tepat di bibirnya. Akh, reflek sialan. “Eh…maaf. Maaf”
“Gak apa-apa! asal jangan keterusan aja. Hahaha.” Tawanya. Tawa yang saya nantikan. Yang selama ini hanya sebuah intepretasi imajinasi saya di setiap “haha” yang dia tulis. Dan sekarang terdengar nyata. Indah. Meski terlalu berisik sampai menarik perhatian pengunjung lain.
“Kalo aku, kamu anggep lagi modus kenapa kamu udah ada di sini? Bukannya janji kamu entar jam 8…” Ah! Keceplosan! Dia pasti sadar kalo saya udah menguntit linimasanya.
“Lah, kalo kamu tau aku mau ketemuan sama orang hari ini, kenapa kamu ngajak ketemuan dan beneran datang ke sini? Sejauh ini lagi?” Tanyanya dengan diikuti sebuah senyuman kemenangan. Berhasil meng-counter-attack pertanyaan saya sebelumnya.
“Ummh, well, terkadang, takdir itu bukan ditunggu untuk terjadi, apalagi dihujat karena gak pernah terjadi. Takdir perlu diciptakan. Kita terpisah di tempat yang berbeda, jauh. Apa takdir kita begitu? Dan aku mencoba untuk membuat takdir bahwa kita dipertemukan. Di sini. Sekarang” jawab saya panjang lebar seperti seorang sales obat diikuti rasa bersalah karena merasa terlalu kepedean.
“…” Dia terdiam. Menatapi saya.
“…” dan saya hanya bengong mengutuki mulut besar saya.
“pffft. Hahaha. Ternyata gak di twitter saja ya, kamu pinter maenin kata-kata. Bikin aku meleleh” dia menepuk-nepuk pundak saya. Sial, dia berhasil membuat jantung saya lemas.
Obrolan kami berlanjut. Semacam dua orang teman lama yang sudah terpisah puluhan tahun dan akhirnya bertemu lagi. Bertukar kisah yang hilang di antara waktu yang terbuang karena terpisah itu. Mengisi kekosongan dari pertanyaan yang hanya bisa dijawab saat bertemu secara nyata.
Time skipping. Waktu berjalan terlalu cepat dari yang seharusnya. Tapi time skipping yang ini benar-benar indah. Saat dimana saya membutuhkan doraemon untuk mengeluarkan alat penghenti waktu. Sepertinya dia merasakan hal yang sama. Wajahnya tampak bingung tiap kali saya melirik alroji, berusaha menghentikan waktu.
“Euh, sepertinya kita harus berpisah. Jadwal kereta udah mepet.” Gesture Tangan saya menunjuk jam tangan yang jarum-jarumnya mendekati bentuk pukul 20:00.
“hah? Jadi kamu langsung pulang hari ini?”
“hehe iya. Besok kerja”
“Gila!”
“…” Saya hanya bisa tersenyum. Meski sebenarnya sedih juga harus berpisah begitu saja.
“Tapi terima kasih ya. Udah nemeni aku hari ini”
“You’re welcome”
“Dan aku sudah menemukan jawaban untuk nyelesein urusanku nanti dengan dia”
Mendengar kata “dia” membuat saya semacam terbangun dari mimpi. Meski saya telah membuat sebuah takdir, tapi bukan berarti saya bisa menghapus takdir lain. Saya tak tau lagi mau bicara apa. Saya lempar senyum dan lambaian tangan. Berbalik.
“Tunggu…” sebuah teriakan kecil dari belakang.
Ada yang menahan tangan saya. Menahan langkah kaki. Dia menarik tangan saya hingga saya berbalik berhadapan tepat dengannya.Wajahnya mendekati sebelah wajah saya dan berbisik,
“Saat masing-masing dari kita kembali ke tempat asal dan kembali terpisah jauh, ingatlah…” *cup!* Sesuatu yang lembut mendarat di pipi saya.”…bahwa kita pernah sedekat ini. :)”
————-
vachzar – Kamar, 26 Februari 2013
spesial untuk @raratihp (Ratih Purnamasari).
Terima Kasih, karena kamu inspiratif sekali, hehehe, gula pasirku. :)
Leave a Reply