“Udah, kamu gak usah maksa jalan. Sini aku bonceng.” Aku teringat kata-katamu saat kita masih SMP dulu. Saat kakiku terluka jatuh di jalan pinggir sawah sepulang sekolah. Malu rasanya diboceng cowok saat itu. Teman-teman seperjalanan pulang spontan saja berteriak “cieee-cieee”. Dan kamu malah menatapku dengan tajam saat aku berusaha menolak ajakanmu. Tajam sekaligus meneduhkan.
“Udah, jangan nangis, sepedamu tinggal saja di sini. ayo pulang bareng aku aja. Nanti aku bilang ke bapak kamu.” Kamu menarikku dan memaksaku untuk duduk di boncengan sepeda yang sama saat SMA. Aku masih menangis sesegukan karena anak IPS yang bandel-bandel, sengaja menancapkan paku di ban sepedaku. Dan tangisku semakin parah karena melihat kamu berusaha keras mengayuh sepeda, karena beratku bertambah dibanding saat SMP dan ditambah bunyi sepeda yang berdencit dimakan usia. membuatku semakin haru. Kamu malah tersenyum saat menoleh kebelakang. seperti terbang saja rasanya mengayuh sepeda ini.
“Udah, gak bakal ada angkot hari ini. ada demo sopir!” Tatapan itu lagi-lagi tersorot dari kedua matamu yang teduh. Aku tak sanggup melihatnya, karena sekejap saja mampu memerahkan kedua pipiku, entah kenapa. Kamu tak lagi menggunakan sepeda yang dulu. Motormu terlihat sempurna, meskipun umurnya sama tuanya dengan kita. Warisan bapakmu kah?
“Udah kamu tidur saja” Perintahku saat kamu memaksakan diri bangun dari tempat tidur. di rumah sakit. Motor yang kami kendarai terserempet truk yang sopirnya mengantuk. Kini giliran aku yang menjagamu agar tidak menangis. Karena aku ingin tatapmu selalu menyempurnakan aku.
Leave a Reply