なにがあっても、あきらめないで

in

amusia

Aku lupa gimana awalnya. Seingatku saat kelas XII, teman sekelas, Dani, yang juga wakil ketua kelas, tiba-tiba memanggilku. Dia mengabarkan ada ekstrakulikuler baru bernama Karawitan (seni gamelan), dan menyuruhku untuk datang ke aula selepas sekolah. Sebagai orang yang good-for-nothing dan anggota tetap go-home-club, tentu saja ini salah satu kesempatan untuk aku tampil keren, apalagi ini ekskul yang cukup unik dan jarang.

Saat pulang sekolah, di Aula, kalau tidak salah ternyata yang kelas XII hanya aku dan Dani. Sisanya adalah adik kelas XI dan X. Sebagai senior, tentu saja ku harus menunjukan kewibawaanku dong.

Salah seorang guru kesenian, yang sepertinya yang bakal jadi pembimbing bilang bahwa dia mendatangkan salah satu seniman yang biasanya muncul di JTV untuk mengajari seni gamelan, apalagi karena memang ada set gamelang di aula sejak aku kelas X, belum pernah sama sekali kulihat pernah dipakai.

Long story short, aku dapat bagian Gong. Yang mana simpel sekali ya. Seharusnya sih. Tapi ternyata tidak bagiku. Padahal instruksinya simpel, kurang lebih seperti 1-2-3-4-gong-1-2-3-4-gong. sesederhana itu temponya tapi entah kenapa aku kehilangan fokus, kadang terlalu cepat kadang telat. Kayak dengerin lagunya, terus jadi ngelamun gitu, agak sulit menjelaskannya. Sampai-sampai mas seniman marah sambil bilang “sampean buta nada kah?” harusnya aku sudah sadar saat itu tapi kupikir cuman kemarahan sesaat mas seniman. Intinya sejak saat itu aku enggak lanjut ikut ekskul itu lagi. hahaha.

Circa 2011, aku menemukan seorang blogger yang mengeshare lagu rekamannya sendiri. Karena bagus dan belum banyak orang tau. Aku iseng aja bikin semacam kover lagu gitu. Setelah kurekam, terlepas dari suaraku yang tidak merdu, aku merasa hasilnya gak sesuai seperti saat aku bernyanyi dan kurekam tadi. Kayak ada yang nggak pas gitu. Perasaan waktu merekam udah pas nadanya. gitu deh. Setelah itu, rekaman itu ku upload dan kukirimkan ke dua teman online saat itu, Mbak Ikafara dan Sari Atika. Reaksi korban pertama ngakak tanpa ngasih tahu kualitas suaraku bagaimana, reaksi korban kedua bertanya balik “ini kamu nyanyi atau baca puisi?”

Di tahun yang sama, karena perbedaan selera lagu para teman kerja, maka pada pake headset saat bekerja. Seperti orang pada umumnya, kita jadi asik sendiri nyanyi padahal didengerin orang lain. Saat itu temen sebelah juga bertanya, “kon moco puisi?

Circa 2012-2013, ada teman kerja, Haryo, yang secara frontal ngasih tau “nyanyimu iku gak pas kabeh nadae” dia bilang begitu karena kami menyukai penyanyi yang sama, YUI. Saat itu, aku masih denial, aku beberapa kali merekam suaraku, dan ya begitu, saat nyanyi kurasa udah pas dan bagus, tapi saat kudengarkan hasil rekamannya gak cocok semua lebih tepatnya gak ada nadanya sama sekali. Lalu aku teringat orang-orang yang ikut acara Indonesian Idol, khususnya yang biasa jadi gimmick atau lucu-lucuan. Apa jangan-jangan orang-orang ini juga nggak sadar sepertiku yang kalau nyanyi gak ada nadanya. Lebih parah lagi, mereka nggak sadar kalo cuman dijadikan gimmick oleh panitia. Karena aku tahu ada temenku yang suaranya lebih bagus tapi nggak lolos ke audisi yang sampe ketemu juri dan masuk TV.

Memikirkan hal ini, aku jadi teringat ketika awal-awal tetanggaku beli gitar. Aku sering nongkrong di teras rumahnya sambil mendengarkan dia belajar gitar, ngulik-ngulik kunci lagu. Aku paham ketika ngulik kunci nada sebuah lagu. Tapi nggak paham sekali ketika ngulik chord gitu. Bahkan waktu dia nyetem gitar ada range nada yang ga bisa kubedakan. Aku ga bisa memahami kunci nada doremi bisa masuk ke chord C-D-E.

Pada akhirnya emang mencoba iseng nyari tes online tapi hasilnya sih ya gak buta nada, masih bisa membedakan nada, yang berarti masih bisa mendengarkan lagu dengan enak, tapi gak enak kalo nyanyi hhhha


by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *