Secangkir Cappuccino berangsur-angsur mendingin di depan saya bersebelahan dengan banana split yang mencair creamnya. Di seberang saya, ada segelas jus alpukat topping coklat digenggam jemari lentik wanita yang telah lama saya kenal. Sejenak saya amati tak ada cincin yang tersemat pada jari manisnya.
Ada diam di antara kami. Ternyata berpisah selama empat tahun, membuat kami kebingungan mencari topik untuk mengisi hal-hal yang terlewat empat tahun itu. Kabar sekarang, kerja dimana, kabar ayah ibu adalah topik yang sudah terlewat dari tadi. Hanya topik tentang perasaan dan hati kami yang belum dibahas atau lebih tepatnya tak ada yang ingin memulai. Dan hujan di luar sana menjebak kami berdua di sini. Dalam permainan siapakah yang akan memulai topik itu.
“Saya benci hujan” kata saya sambil menunjuk dinding kaca mall tempat kami bertemu. Hujan mengetuk-ngetuk kaca dengan keras, TAKTAKTAKTAK. Mengantikan suara-suara anak-anak sekolahan ababil yang nongkrong sepulang sekolah, sore ini. Ketukan hujan itu seperti degup jantung saya, setelah melihat raut wajahnya yang semacam ingin mengatakan sesuatu.
“Aku juga benci” Katanya sambil mengaduk-aduk jusnya dengan sedotan. Terkadang wanita bisa sangat mudah ditebak saat ingin memulai topik pembicaraan yang sensitif, terutama hati. Matanya tak lepas dari jus alpukatnya, namun, saya mengerti , ingin sekali dia menatap saya penuh amarah, ya, itu hanya dugaan saya saja.
“Kenapa?”
“Hujan itu menjebak, memaksaku berdiam di dalam ruangan, memaksaku melihat pemandangan yang membosankan dan sekaligus mematikan dari balik jendela. seperti perasaan yang aku rasa waktu itu, perasaan dimana aku sangat mencintai seseorang dan dia tiba-tiba hilang, yaah semacam ingin pergi keluar dan tiba-tiba hujan turun menyapu harapan yang ada.”
Jleb! Pasti yang dia maksud adalah saya.
“dan, ohya, maksud kamu ngajak aku ketemuan di sini ada apa? Bukan cuman ketemu aja kan?” kali ini tatapannya tajam menusuk.
“Well, yes, saya sebenernya pengen menceritakan alasan mengapa tiba-tiba saya menghilang. Jika kamu ingin tahu sih, tapi saya minta maaf ya, atas semua yang telah terjadi”
“boleh, dan aku memang selalu menunggu kamu menceritakan hal ini”
“Tapi, apa kamu entar gak apa-apa?” Saya mengecek situasi jika saja suasa menjadi sangat membahayakan. Gelas jusnya bisa saja melayang ke jidat saya.
“it’s ok. Aku baik-baik aja kok”
Kemudian, saya menceritakan, saat-saat saya mulai jenuh dengan hubungan kami waktu itu. Dan hadir sosok yang mampu menghapus kejenuhan itu, memberi warna yang berbeda, saya tak mampu mendua meski saya tau dia takkan pernah tau hubungan saya dengan yang lain. Saya hanya tak mau lebih menyakitinya. Dan saya tiba-tiba menghilang dari hidupnya. “Saya jahat ya?” tanya saya mengakhiri cerita yang hilang itu.
“…” dia terdiam.
“kamu baik-baik aja?” saya mencoba menjauhkan gelas jusnya dari tangannya. Takut terbang.
“Aku gak nyangka, ternyata kamu sejahat itu. Kalau kamu jenuh kenapa kamu gak berusaha ngubah agar gak jenuh? Bukannya malah ninggalin gitu aja?”
“yaaa, I’m so sorry, that’s yesterday me, saya waktu itu gak mikir panjang, tapi ada satu hal yang saya pikir saat itu, saat saya sudah terlanjur cinta dengan dia, saya sudah merasa menghianati kamu, saya sudah merasa tidak pantas untuk kamu. Kamu terlalu baik.”
“Ah, I was so naïve then, dan sekarang kamu nyesel?”
“hmm, sejujurnya saya gak menyesal, tapi saya merasa sangat bersalah dan berdosa. Dan yaah tujuan saya adalah mengakui dan menceritakan semua kesalahan saya. Biar saya tenang sih.”
“cuman itu?” matanya memincing tajam.
“well, if it’s possible, can we start over, can’t we?”
“kenapa baru sekarang? Kenapa gak dari dulu? Kamu gak tau gimana dulu aku terjebak dalam perasaan yang super-membingungkan, aku selalu mencoba lewat daerah rumah kamu, berharap suatu hari kita dipertemukan. Dan ingin ada penjelasan atas semua itu!”
“Really? Sungguh ironis ya? Saya juga melakukan hal yang sama, saya terlalu takut karena merasa sangat bersalah,saya selalu lewat depan rumah kamu juga, sesekali saya memang melihat kamu, memastikan kamu baik-baik aja, tapi tak pernah berani berhenti, setidaknya menyapa kamu. Gak pernah berani sedikitpun. Kamu sekarang lagi kosong kan?”
“kalo iya kenapa, kalo enggak kenapa? Emangnya kamu belum pacar?”
“ya, mungkin kita bisa start over? Hahahaha never! saya, sejak putus dari kamu, hanya bisa bertahan satu bulan dengannya, dan saya jomblo lagi sampai hari ini.”
“Jadi kamu tetep jomblo karena merasa bersalah? Dan kenapa baru sekarang? Hmm, kalo saja waktu itu kamu langsung jujur dan minta maaf mungkin ceritanya akan berbeda. Tapi ini sudah terlambat.” Katanya sambil berdiri. Hujan di luar sudah berhenti, tinggal sisa-sisa gerimis yang tak tampak. Matahari senja memerahkan langit. Mendung tak mampu menutupi matahari yang memang sudah bersembunyi di sudut barat.
“Apa bener udah terlambat? Lihat, setelah hujan yang menyebalkan itu selalu ada hal indah,” saya menunjuk sebuah pelangi yang hampir tak nampak ditelan gelap senja. “pelangi terlahir dari hujan. Yah mungkin setelah hujan di antara kita, akan ada pelangi.”
“hmm, mungkin.” Katanya sarkastik.
“Jadi, apa kita bisa mengulang kembali?”
“it’s too late, tapi liat aja, seberapa hebat perjuangan kamu” dia tersenyum menghilang dibalik pintu lift.
Dan saya hanya bisa mematung, kemudian mencoba melihat pelangi yang sudah tak nampak. Menghilang.
=======
26/27-03-2013.
end story about her? well I dunno xD
Leave a Reply