Hujan selalu menjadi musim penuh keajaiban bagi saya di waktu kecil. Hal-hal ajaib itu antara lain, hujan-hujanan, mandi di genangan air, suara-suara katak (jomblo) yang mencari jodoh, Pelangi, dan Laron. Satu hal yang selalu saya tunggu adalah munculnya laron, bahasa Indonesianya, anai-anai, atau ratu rayap. Laron bisa muncul di pagi hari atau malam hari, tapi saya suka laron yang muncul pagi hari, ukurannya lebih besar, apalagi kalau muncul di hari minggu. Saya bisa menghabiskan pagi dengan menangkapi laron yang terbang entah dari mana asalnya.
Hari minggu, laron-laron muncul di depan rumah. Dengan sigap saya ambil sebuah aqua gelas, lupakan acara kartun minggu pagi, hari ini saya berburu laron, berlomba dengan ayam-ayam saya yang kelaparan. Untung tubuh saya waktu TK lumayan tinggi, saya bisa mengalahkan lompatan ayam jago saya yang tinggi itu.
Satu-dua-tiga, semakin banyak laron yang saya tangkapi masuk ke dalam aqua gelas yang saya tutupi kertas bagian atasnya, dengan lubang-lubang kecil untuk bernafas. Rasa penasaran saya tumbuh lagi, dari mana laron ini berasal, ada yang dari semak-semak sana, tapi saya takut, banyak ular. Saya mencari sumber laron ini, mengikuti arah berlawanan laron terbang. Dan saya berhenti di samping rumah Dimas. Laron-laron ini muncul dari situ.
Satu persatu laron yang keluar dari lubang persembunyiannya berpindah ke aqua gelas. Sesekali tangan saya kesakitan ketika, Jendral Rayap, dengan helm dan taring besarnya menggigit tangan kecil saya. Saya harus memenuhi gelas ini sebelum Dimas keluar dari rumahnya. Saya benci dia dan saudaranya akan mengganggu saya. Ah, tapi terlambat dia sudah di depan rumahnya, bersama saudara-saudaranya.
“Ngapain lo!?” Bentak dia secara tidak sopan, padahal umur saya lebih tua dua tahun dari dia, dan ibu saya mengajari harus sopan kepada yang lebih tua, entah mamanya Dimas mengajarinya apa. Daripada saya bertengkar, lebih baik saya buru-buru pergi. “EH!, lo mau nyolong ya? sini aqua gelas lo, laron-laron itu kan dari rumah gue. Dasar Virus Lo!”
Dalam otak saya yang masih TK itu, mencuri itu mengambil benda milik orang lain dan saya rasa laron-laron itu bukan milik dia. Laron itu dari tanah, milik bumi, kalaupun protes, harusnya bumi lah yang marah ke saya, saya rela ditelan bumi. Tapi dituduh mencuri barang milik dimas? tidak, saya tidak terima, lebih-lebih dia memanggil saya virus, yang baru saya ketahui virus itu identik dengan penyakit, dan penyakitan itu orang miskin. Meski saya miskin, saya anak yang sehat berkat ibu saya. Karena tidak terima dua hal itu, bogem kecil saya terbang ke hidung Dimas. Dan kurebut lagi aqua gelas penuh laron itu.
“buggh!” sebuah tendangan tepat mengenai punggung saya. Tendangan dari Kakak sepupu Dimas, kelas 4 SD. Saya gak berani melawan. Tiba-tiba juga sebuah bogem melayang mengenai pipi saya dari Dimas. Saya kalah telak. Pukulan-pukulan itu berhenti setelah Mamanya Dimas keluar dari rumahnya. Beliau menyuruh saya pulang dengan tak lupa diakhiri kalimat “dasar anak nakal!”
Saya menangis, berlari memasuki rumah yang masih berdinding anyaman bambu. Melihat saya, ibu saya bertanya mengapa menangis. Dasar saya cengeng, saya hanya bisa sesengukan dan menjadi gagap bercerita hal yang baru saja terjadi. Ibu sepertinya paham, beliau lantas menarik tangan saya kembali ke tempat saya meninggalkan aqua gelas itu. Ibu tidak pernah marah kesiapapun yang membuat saya menangis, itu urusan orang tua mereka. Agua gelas tadi diambil ibu, isinya tinggal beberapa ekor laron saja, yang lain disiksa Dimas, dicabuti sayapnya.
Laron-laron dari Aqua gelas saya keluarkan, saya lepas mereka di halaman rumah saya. mereka tidak terbang, malah menyelinap di bebatuan, mungkin si Ratu Rayap ini sudah menemukan tempat yang cocok untuk membangun istana baru. Saya hanya tersenyum meski sesegukan sisa tangis tadi masih ada. Saya berharap keajaiban musim hujan ini, membawa keajaiban musim hujan tahun depan. Laron-laron akan muncul dari halaman rumah saya.
———————
vachzar. 20130314. saat menunggu hujan reda.
Leave a Reply