Beberapa bulan yang lalu banyak orang membicarakan tentang film dokumenter berjudul The Social Dilemma. Tidak sedang membahas film itu, hanya setelahnya jadi kepikiran hal-hal yang menjadi pengamatanku selama ini yang akhirnya muncul frasa “Social Paradox” di dalam kepalaku.
Di tahun 2010 ke bawah atau di sekitarnya, di mana orang masih banyak main di forum (dan netizen tidak sebanyak sekarang), kaskus misalnya, ada jargon “no pic = hoax” dimana pembuktiannya harus sebuah foto gak boleh berupa teks. Tapi nggak lama, muncul istilah ‘sotosop’ untuk sebuah gambar yang dianggap dimanipulasi oleh aplikasi photoshop. Tentunya, orang awam di luar netizen saat itu menganggap semua yang di internet adalah bohong. Bahkan mungkin tidak tahu internet itu apa. Coba aja inget-inget pasti dulu kalian ada yang cerita ke teman sebuah info dari internet, pasti teman yang lo ceritain merasa gak percaya atau paling enggak raut wajahnya kek gak yakin gitu.
Setelah itu, setelah kuota lebih murah, setelah hp smartphone menjadi populasi terbesar, setelah orang-orang awam menjadi warga negara Internet. Tiba-tiba semua kembali ke awal dengan berkebalikan. Dulu semua hoaks kecuali bisa dibuktikan sebaliknya, lalu berubah menjadi semua benar kecuali bisa dibuktikan kalau hoaks. Setidaknya itu yang kupikirkan.
Contohnya, ini lucu sih, ketika aku iseng mencoba filter instagram yang seolah-olah ada PS5 di meja. Ketika aku post (di stories WA/IG/FB), banyak juga yang percaya, okelah kalo sekadar percaya, karena emang bagus filternya. Tapi ada juga yang ketika kujelasin kalau cuma filter, eh nggak percaya dan ngeyel. hhha.Masalahnya, hal ini tidak hanya terjadi pada netizen baru (misalnya, Orang2 tua yang baru pake hape) tapi juga pada netizen lama, apalagi yang sudah terpolarisasi politik. Contoh lainnya, pesan-pesan forward-an di WA, padahal netizen lama seharusnya udah kapok kena SMS berantai di masa UN (yang gak nerusin SMS isi doa ini nanti gak lulus)
Leave a Reply