Dia di sana, duduk di bangku baris pertama, dan aku selalu duduk baris paling belakang di dalam angkot perjalanan pulang dari sekolah.
Angkot minibus yang sering disebut elf atau bison ini bagian penumpangnya terbagi tiga baris kursi dan satu baris yang menghadap ke belakang. Spot favoritku adalah baris ketiga paling kiri dekat jendela dan pintu keluar. Dan dari sini aku bisa melihatnya, meski hanya tampak rambutnya saja yang lurus memanjang, dan kebetulan dia duduk di pinggir. Pipi seputih dan selembut bakpao yang secara tak sopan tampak mengintip dan menyebarkan feromon membuatku lelap dalam lamunan.
Lamunanku buyar saat kenek menarik ongkos angkot, yang seperti biasa dari belakang dulu. Dan yang membuat lamunanku semakin buyar adalah ada cowok dari kelas IPS, yang duduk di sebelahku membayar dobel.
“Sama cewek yang depan itu pak,” katanya sambil menunjuk cewek yang dari tadi aku pandangi.
Siapa cowok ini, pacarnya kah? Ah enggak. Setahuku dia masih jomblo. Pasti cowok ini cuman modus, lagipula kalo jadi pacarnya gak cocok sama sekali.
Lah, kenapa aku jadi sewot ya.
Kirana, nama cewek itu. Tahun ini, kelas XI, kami sekelas. Nikmat tuhan manakah yang kamu dustakan, jika diberi kesempatan untuk sekelas dengan cewek yang tiap detiknya Aku ingin ada di dekatnya. Sejak kelas X, aku mulai suka memandanginya, kami pernah berada di dalam suatu kelas yang sama sebelumnya, dalam acara remidi massal. Iya, iya! hal itu tak perlu dibanggakan. Tapi aku jadi paham, bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Cewek secantik itu juga kadang remidi. hehehe.
Dan kalau tidak salah kami juga pernah satu SMP, Aku pernah melihatnya waktu kelas VII tapi kemudian nggak lagi, entahlah.
“Loh pak, aku kok gak perlu bayar, lah terus temenku ini gak gratis juga?” reaksi Kirana yang menggemaskan saat bingung dia kalau gak perlu bayar ongkos.
Kenek menoleh ke belakang, cowok sebelahku memberi gestur ‘psst’ kepadanya untuk gak perlu kasih tau siapa yang bayarin. Melihat kenek yang menoleh, Kirana ikut melempar pandangannya ke arah ke belakang. Dan kau tahu? pandangannya itu setara dengan kriptonite pada Superman, melumpuhkan. Karena aku bukan pelaku modus operandi aku hanya perlu menatap ke luar jendela, tapi entah kenapa rasanya dia memandangiku lama atau aku sendiri yang jadi gugup, dan membuatku terpaksa mengalihkan pandangan, seperti orang gugup selalu lakukan, ke bawah.
“Pertigaan Waru, ayo ayo yang turun!” Ternyata Kirana turun di sini juga, perasaan waktu kelas satu dia gak pernah turun di sini, tapi di perempatan di pertengahan jalan antara tempatku turun sekarang dan sekolah.
Aku tipikal orang yang suka berimajinasi, jadi saat turun, aku berharap saja dia tiba-tiba mendekatiku, sekadar menyapa “Hai, kita sekelas loh” lalu berbasa-basi, tentang siapa yang ongkosin dia angkot. Tapi ternyata dia diam saja. Sampai aku berjalan ke tempat parkiran sepeda.
Ah, mungkin baginya aku hanya temen sekelas saja yang jalan pulangnya searah. Keberadaan yang seperti angin.
***
Aku kesiangan, angkot langgananku sudah lewat, andai saja aku melewatkan episode terbaru Spongebob Squarepant, pasti aku udah sampai sekolah. Aku naik ke satu-satunya angkot yang masih ngetem.
Entah kebetulan atau memang takdir, Kirana ada di sana. Di baris pertama.
Karena gugup aku langsung saja ke belakang, tapi ada bapak-bapak duduk di baris kedua yang kakinya menghalangi jalan. Aku minta ijin lewat, dia tetap bergeming. Aku merasa gak beres sama orang ini, semacam egois, padahal di baris dua itu cuman dia dan bari tiga masih kosong. Tentu saja aku secara tak sopan memaksa melawati orang bebedah ini. Dia memandangiku dengan sebal. Karena moodku rusak, aku memasang wajah premanku padanya. Dia lalu mengalihkan padangannya. Ah, soal wajahku, sebenarnya memang wajah preman dari sananya.
Angkot berjalan normal seperti biasa, tiba-tiba bapak bedebah itu pindah ke depan duduk di bangku yang menghadap belakang, padahal di sana udah berdesak-desakan. Emang gak beres orang itu, pikirku.
“Cring… Cring… Cring…” Orang yang duduk di depan pojok menghadap kebelakang, menjatuhkan uangnya. Lucunya, bapak bedebah jadi heboh dan berdiri, menyuruh orang tadi mengambil uangnya. Dia lalu geser-geser dan mendesak penumpang baris satu. Terutama Kirana. MODUS! Aku sadar bahwa itu cuma akting, dan itu akting yang paling jelek yang pernah aku lihat.
“Awas tangannya! awas dompet, hape!” tanpa sadar aku berteriak seperti itu.
“Glodak!” suara benda jatuh ke lantai angkot.
“Eh itu hapeku!” Kirana berebut dengan bapak bedebah itu, dan untungnya berhasil.
Bapak itu kemudian memaksa angkot berhenti dan turun. Bukan takut padaku, tapi di depan situ ada ibu-ibu penjual ulekan dan cobek. kamu tau bahayanya ibu-ibu apalagi sambil bawa ulekan dan cobek? 100% jadi pecel.
Kirana berterima kasih kepada Ibu-ibu itu yang membantu merebut hapenya. Sampai di sekolah dia hanya diam dan masuk kelas. mungkin masih syok.
Ah, yang terpenting Kirana baik-baik saja.
***
Pulang sekolah, masih banyak siswa yang nongkrong di depan kelas. Sebagai anggota tetap Go-Home Club, aku pulang tanpa beban, FTV siang sudah menungguku. Tapi tiba-tiba ada yang menahanku.
“Eh?!” Aku menoleh dan melihat seseorang yang gak pernah kubayangkan akan menahanku.
“…”
“Ki-Kirana?”
“Tungguin aku pulang ya, aku ada Kelas Intensif?” katanya tiba-tiba.
“Ehh, kamu gak apa-apa?” kataku cemas sambil mengamati kepalanya dari berbagai sisi, mungkin saja tadi kepalanya terbentur sesuatu.
“Indra, aku mau pulang bareng kamu, tungguin aku ya?” pintanya dengan nada agak keras.
“Ehh, apa gak apa-apa kita…” belum selesai bicara aku baru sadar bahwa siswa yang lain memandangi kami berdua. Bukan hal yang aneh jika cewek dan cowok ngobrol. Tapi akan jadi awkward kalo cewek paling cakep ngobrol sama cowok paling cupu dan surem.
“Oke ya, see you~” Kirana berlari masuk kelas Intensif tanpa menunggu jawabanku.
***
Aku lebih memilih pulang aja. Lagipula mana mungkin cewek kembang sekolah mau pulang bareng cowok surem kayak aku.
“HEH! Lo yang namanya Indra?” cowok yang pernah sebelahan diangkot mencegatku.
Ini apalagi coba, repot amat hari ini.
Salah satu fakta yang belum aku ketahui adalah, dia atlet lempar lembing, dan baru kusadari saat dia melemparku.
“Ada apa elu sama Kirana?”
“Nggak, nggak ada apa-apa.” Jawabku dengan kesakitan encok yang mendadak ini.
“Terus yang tadi itu apa?” Katanya sambil pengen melemparku lagi.
“STOP!” Teriak Kirana, lalu menarik tanganku dan berlari. Kencang.
Oke, setelah jadi korban lempar lembing, sekarang ditarik pelari marathon diiringi sorakan siswa di sepanjang lorong sekolah.
“hahaha” Kirana tertawa lepas, belum pernah aku melihatnya tertawa begitu lepas dan tetap tampak manis apalagi sambil lari. Aku mengikutinya dari belakang. Pemandangan yang selalu aku lihat, rambut dan punggungnya kecuali tangannya yang menggenggam tanganku saat ini.
Entah kemana Kirana menarikku pergi, rasanya aku ingin terus berlari, meski atlet lempar lembing nggak mengejar kami lagi.
***
“Jadi kamu nggak ingat kita dulu satu SMP?” tanya Kirana di dalam angkot.
“Emmm ing-ingat.”
“Yakin? Kamu ingat kita pernah satu kelompok saat MOS SMP?”
“EHH beneran?”
“Tuh kan? pasti kamu juga lupa kalau kamu dihukum waktu MOS gara nggak pakai topi?”
“Oh aku inget itu. Aku lupa bawa kalau nggak salah.”
“Bodoh! itu karena topinya kamu kasih ke aku.”
“Hah?”
“Kamu lupa semuanya ya, aah jahat banget.”
Tiba-tiba aku ingat semuanya, bahkan waktu kelas X, kita pernah contekan waktu remidi. it just me who is always thinking of you, unreachable. [*]
Leave a Reply